27/02/2019
Chaos dan Mitigasi Krisis Ekonomi
February 27, 2019
No comments
Chaos dan Mitigasi Krisis Ekonomi *)
Syamsu Alam **)
Bisakah kepakan sayap kupu-kupu di
Maros menyebabkan Tsunami di Palu? atau Mungkinkah cuitan Donald Trump di
Twitter menyebabkan krisis ekonomi yang dahsyat di negara emerging market?
itulah sekilas tentang Butterfly Effect
dalam Teori Chaos. Hal yang kecil dapat membawa dampak yang besar.
Pada sesi perdagangan 5/10/2018 rupiah ditutup melemah pada level psikologis 15.177/USD Dollar. Hal ini berpotensi viral dan meluber kemana-mana di linimasa. Sebahagian orang menilai adanya siklus krisis ekonomi 10 tahunan, namun tak harus khawatir. Krisis ekonomi 1998, Krisis keuangan 2008, dan kini 2018. Kekhawatiran ini muncul karena banyaknya negera-negara berkembang yang dilanda krisis, seperti Venezuela, Turki, dan lain-lain. Seberapa pentingkah mitigasi krisis dilakukan? Tindakan sistematis dan terukur perlu diupayakan di tengah ekonomi yang saling berkaitan (Intrelinkage).
Dalam sistem ekonomi global yang saling terkait, dapat memicu terjadinya krisis sistemik. Efek krisis di negara lain dapat memicu krisis di negara lainnya. Sistem ini menyerupai hukum Chaos dalam Teori Chaos Lorenz yang terkenal dengan butterfly effect. Bahwa, kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan Tsunami di Aceh. Kini, cuitan Donald Trump di Twitter dapat memicu krisis di negara-negara emerging market. Kenapa? karena efek psikologis dapat dengan mudah mengubah keputusan seseorang (investor) dalam sekejap. Portofilo sahamnya dengan seketika dapat dipindahkan dari satu negara ke negara yang lain.
Dalam sistem ekonomi global yang saling terkait, dapat memicu terjadinya krisis sistemik. Efek krisis di negara lain dapat memicu krisis di negara lainnya. Sistem ini menyerupai hukum Chaos dalam Teori Chaos Lorenz yang terkenal dengan butterfly effect. Bahwa, kepakan sayap kupu-kupu di Brazil dapat menyebabkan Tsunami di Aceh. Kini, cuitan Donald Trump di Twitter dapat memicu krisis di negara-negara emerging market. Kenapa? karena efek psikologis dapat dengan mudah mengubah keputusan seseorang (investor) dalam sekejap. Portofilo sahamnya dengan seketika dapat dipindahkan dari satu negara ke negara yang lain.
Itulah mengapa
krisis di negara tertentu dapat memengaruhi kinerja ekonomi negara lain,
apalagi negera-negara berkembang. Karena efek psikologis, disertai bayang-bayang
kepanikan, jikalau krisis merebak lebih luas ke negara-negara yang
berkapitalisasi kecil. Beberapa negara emerging market mengalami pelemahan
nilai tukar terhadap dollar AS. Per periode september 2018, masing-masing negara
mengalami pelemahan terhdap USD year to
date; Won Korea Selatan (-5,02%), Rupiah Indonesia (-8,98%), Rupe India
(-11,18%), Ruble Rusia (-15,49%) Radn Afsel (-19,11%), Real Brazil (-20,10%),
dan Lira Turki (-42,12%) (Kontan, 24/9/2018).
Tahun 1998 versus 2018
Nilai tukar rupiah akhir-akhir ini terus mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat. Seperti diketahui, pada perdagangan periode 5 agustus 2018 rupiah menembus level psikologis Rp15.117 per USD. Melemahnya nilia tukar bukan satu-satunya variabel ekonomi yang dapat menyulut terjadinya krisis. Fundamental makro ekonomi lainnya patut menjadi pertimbangan untuk menilai suatu negara berpotensi krisis atau tidak.
Beberapa indikator fundamental ekonomi kita patut diperhatikan. Indikator tersebut adalah Inflasi, Pertumbuhan ekonomi, Suku bunga, dan Current Account Deficit (CAD), Cadangan Devisa. Jika memerhatikan krisis keuangan 1997/1998 dimana pertumbuhan ekonomi domestik terkontraksi (-13,1%), Biaya yang dikeluarkan untuk penyelamatan perbankan sebasar 50% PDB, Perubahan Indeks Saham (-37) dan Nilai Tukar (-128,7). Inflasi 78 persen, Hampir semua bank kolaps di 1998. Semakin diperparah dengan kondisi politik yang tidak stabil, menjelang lengsernya Suharto.
Kini 2018, situasinya berbeda, meskipun rupiah menembus level 15 ribuan, namun indikator makroekonomi lainnya dianggap masih tahan guncangan eksternal. Inflasi september 2018 3,5 %, ekonomi masih bertumbuh lebih dari 5 %, suku bunga 5,75 %. Posisi cadangan devisa Indonesia cukup tinggi sebesar USD117,9 miliar pada akhir Agustus 2018. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor, (BI: 08/2018). CAD meskipun cenderung tergerus, namun dianggap masih mampu membiayai defisit yang sedang terjadi.
Beberapa indikator fundamental ekonomi kita patut diperhatikan. Indikator tersebut adalah Inflasi, Pertumbuhan ekonomi, Suku bunga, dan Current Account Deficit (CAD), Cadangan Devisa. Jika memerhatikan krisis keuangan 1997/1998 dimana pertumbuhan ekonomi domestik terkontraksi (-13,1%), Biaya yang dikeluarkan untuk penyelamatan perbankan sebasar 50% PDB, Perubahan Indeks Saham (-37) dan Nilai Tukar (-128,7). Inflasi 78 persen, Hampir semua bank kolaps di 1998. Semakin diperparah dengan kondisi politik yang tidak stabil, menjelang lengsernya Suharto.
Kini 2018, situasinya berbeda, meskipun rupiah menembus level 15 ribuan, namun indikator makroekonomi lainnya dianggap masih tahan guncangan eksternal. Inflasi september 2018 3,5 %, ekonomi masih bertumbuh lebih dari 5 %, suku bunga 5,75 %. Posisi cadangan devisa Indonesia cukup tinggi sebesar USD117,9 miliar pada akhir Agustus 2018. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor, (BI: 08/2018). CAD meskipun cenderung tergerus, namun dianggap masih mampu membiayai defisit yang sedang terjadi.
Ekonomi kita memang sedang
mengalami koreksi, pemerintah harus akui itu. Penyebab dominannya karena faktor
eksternal. Kapitalisasi pasar kita sudah tergerus 2,74% dibanding akhir 2017
silam yang sebesar Rp 6.560 triliun. Mengutip Bloomberg, kapitalisasi pasar
saham domestik mencapai Rp 6.380 triliun.
Defisit Transaksi berjalan yang
sehat antara dua hingga 2,5 persen dari PDB. Penting untuk menekankan bahwa
defisit transaksi berjalan tidak selalu buruk. Serupa dengan arus kas negatif
sebuah perusahaan, defisit ini bisa menjadi hal yang positif apabila dana ini
digunakan untuk tujuan-tujuan investasi produktif (yang menghasilkan aliran
pendapatan di masa mendatang) seperti pembangunan industri atau infrastruktur.
Tetapi kalau defisit ini hanya digunakan untuk konsumsi, terjadi
ketidakseimbangan struktural karena defisit tidak menghasilkan aliran
pendapatan di masa mendatang. Utang pemerintah juga lumayan tinggi, batas
psikologis dari Menkeu 30%. Berdasarkan regulasi pasal 12 ayat 3 UU Keuangan
negara maksimum 60% terhadap PDB, 30%
batas psikologis dari Menkeu.
Waspadai Sudden Reverseal
Determinan sudden reverseal, yaitu penurunan aliran modal asing yang disertai
paling tidak dengan salah satu krisis keuangan meliputi krisis nilai tukar,
krisis perbankan, serta krisis hutang. Sudden
Stop/ Reverseal, ibarat orang mengemudi mobil, dan tiba-tiba berhenti. Sudden
reverseal crisis diawali oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap
beberapa mata uang utama sebagai akibat krisis nilai tukar. Kondisi ini
diperparah dengan tingginya suku bunga riil dunia sehingga mempersulit
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hutang luar negeri terutama berjangka
pendek dan jatuh tempo.
Hal di atas dapat menyebabkan
kredit macet di sektor perbankan karena hutang tersebut sebagian besar
difasilitasi sektor perbankan. Sementara itu, jika pemerintah tidak mempunyai
cukup dana cadangan untuk menyelamatkan sektor perbankan, maka dapat memicu
krisis sistemik. Bagi Keynes, krisis terjadi karena banyak orang ingin hidup di
luar batas kemampuannya? Orang makassar menyebutnya STEPA (Selera Tinggi
Ekonomi Pacce (Lemah).
*) Dimuat di Harian Tribun Timur, Kamis 11 Oktober 2018
**) Dosen FE UNM/Pengurus Masika ICMI Makassar