16/09/2018
Pendidikan Tinggi dan Disruption Era
(Dedikasi untuk Dies Natalis UNM ke-57)
Syamsu Alam*)
Awal agustus merupakan masa penting bagi mahasiswa baru (maba).
Fase awal transformasi dari pendidikan anak/remaja menjadi dewasa. Hal mendasar
dan pertama yang sebaiknya dilakukan oleh Perguruan Tinggi (PT) adalah
bagaimana membawa dunia mereka masuk ke dunia kampus, dan memperkenalkan dunia
kampus kepada mereka secara manusia. Pada zaman dahulu, kegiatan ini disebut
OSPEK, Pesmab, dan sejumkah nama lainnya, yang intinya dalam kegiatan ini
sebagai Hub (penghubung), antara dua dunia yang relatif berbeda. Bagaimana
memperkenalkan roh Tri Dharma PT pada mereka dengan cerdas dan elegan?
Sedemikian sehingga Maba bisa adaptif dengan budaya intelektual.
Fase awal ini sejatinya bersifat radikal dan dapat memberikan efek
kejut pada Maba. Istilah kekiniannya adalah ‘distruption’. PT seharusnya dapat
mendistrupsi girah belajar, sifat kekanak-kanakan, mental ‘kerupuk’, dll,
menjadi lebih nilai-nilai baru sesuai dengan zaman yang mereka hadapi.
Bahkan yang lebih mengkhawatirkan di era keterbukaan saat ini
adalah semakin menipisnya nilai kearifan lokal dan nilai kebijaksanaan leluhur
yang mulia. Maba sebagai gen Z (Milenialis) boleh menyatu dengan gadget yang
canggih tanpa mengabaikan nilai ‘Sipakatau’ (Saling memanusiakan). Kita boleh
menggunakan perangkat robot dan semacamnya tanpa harus menjadi robot. Bermain
game dan berbisnis lintas negara namun tetap punya waktu menyapa tetangga.
Usai melewati berbagai jalur seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) dari yang gratis hingga yang berbayar. Fase awal memasuki pendidikan
tinggi yang relatif sedikit berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah.
Perbedaan mendasar terletak pada filosofi, kebijakan, dan praktik. Filosofi ada
pada kebebasan akademik, kebijakannya lebih komprehensif memadukan fitur
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dan praktiknya dipandu oleh Tri Dharma PT,
pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Mengembalikan
Roh Pendidikan Tinggi
Sokoguru utama kampus adalah Tri Dharma PT, Pendidikan dan
pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat. Ketiganya mengandung
nilai-nilai mulia. Secara normatif, pendidikan mengajarkan prinsip egaliter dan
demokratis. Pendidikan tujuannya adalah memerdekakan manusia. Merdeka dari rasa
takut, rasa lapar, kebodohan dan penindasan. Penelitian mengajarkan pentingnya
rasionalitas, kejujuran dan konsistensi. Kita tidak dibenarkan mengutip
pendapat orang tanpa melampirkan sumbernya. Disitulah kita belajar jujur, dari
awal kata hingga akhir karya ilmiah mengajarkan pentingnya rasionalitas dan
konsistensi. Pengabdian pada masyarakat mengajarkan keikhlasan dan semangat
berbagi pada sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Operasionalisasi nilai-nilai di atas tidaklah mudah. Belajar pada hal apapun adalah hal utama, termasuk pada kasus-kasus konflik ‘fungsionaris mahasiswa’ vs birokrasi kampus. Kampus memang bukan ‘pegadaian’, slogannya tidak realistis. Mangatasi masalah pasti selalu ada masalah baru, tapi masalah baru sedini mungkin lebih kecil dan lebih mudah di atasi.
Lalu apa Solusinya? Pada setiap masalah pasti ada solusi. Secara
matematis, Solusinya bisa satu, belum (tidak) menemukan atau banyak. Solusi
ibarat ramuan obat, bisa mujarab jika diagnosanya tepat. Tulisan ini hanya
refleksi dan keresahan, moga-moga dari sejumput keresahan bisa mengantar pada
solusi 3-K. Kritis, Konstruktif, dan penuh Kasih Sayang. Tiga hal yang kini
mulai langka ditemui di aras sosial maya dan nyata.
Disruption:
Jalan Merengkuh Peluang
Menurut Rhenald Kasali, akhir-akhir ini banyak kalangan keliru
memahami disruption. Diantaranya, yang membatasi hanya berkaitan dengan
teknologi Informasi, ada yang mengaitkan dengan training motivasi yang berujung
pada hipnosis, cara kerja bisnis Multilevel Marketing (MLM) yang sering
merugikan masyarakat. Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading.
Bisnis percaloan. Seakan-akan disruption melulu soal bisnis aplikasi yang
digerakkan untuk mempertemukan supply dengan demand.
Anggapan seperti itu jelas kurang pas. Sebab disruption sejatinya
mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga fundamental
bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi
industri. Misalnya yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan)
menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources). Sebagaimana yang banyak dicontohkan oleh Don Tapscott
dalam bukunya Wikinomics.
*) (Dosen FE UNM/Pengurus Masika ICMI Makassar)