22/07/2016
Sarjana Gelondongan
Pengumuman SBMPTN baru-baru ini, membawa dua cerita.
Bahagia bagi yang lulus dan kecewa bagi yang tidak ada nomor testnya
dalam pengumuman lulus. Dibahagian yang lain tentu ada prosesi 'sakral'
bagi mahasiswa lama. Ingin sarjana. Proses menjadi sarjana adalah jalan
terjal, licin dan penuh intrik. :)
Singkat cerita apa dan bagaimana pun prosesnya. KNOWLEDGE
IS POWER harus jadi tumpuan utamà . Beberapa bulan lalu ramai tentang
bersih-bersih DIKTI atas kampus-kampus yang penuh intrik, dan cara-cara
culas dalam mengelola kampus. Hasilnya ratusan program studi, bahkan
kampus DEXIT (DiktiExit) :)
Kita merindukan kampus-kampus yang tidak hanya melahirkan
Sarjana Gelondongan, sarjana yang karbitan, sarjana roti kata Iwan Fals.
Sarjana yang tidak bisa bersaing dalam kontestasi MEA (yang lagi in
:)) bahkan untuk survive dalam hutan rimba rayuan konsumerisme dan gaya
hidup STEPA (Selera Tinggi Ekonomi Pacce/susah disangsikan.
Lebih intim sebenarnya, saya merindukan sarjana yang
menghargai hidup dan kehidupan. Menikmati perihnya belajar, disiplin,
dan argumentasi yang nakal. Sarjana yang masa mahasiswanya menghargai
proses dialektika kampus. Menjunjung tinggi semangat berpengetahuan,
bahwa dalam proses berpengetahuan pasti ada berkah. Ini aksioma yang
saya yakini.
Kenapa aksioma, karena pesan utama dan paling utama Tuhan
kepada Nabi Muhammad Saw, adalah BACALAH. Sebuah pesan revolusioner, dengan menggelutinya hidup manusia pasti mulia.
Sarjana dalam pandangan masyarakat kebanyakan, adalah
entitas yang dianggap serba bisa dan peluang kemapanan. Sebuah beban
yang begitu berat. Dekade akhir-akhir ini, amat mudah menjadi sarjana,
bahkan master bla....bala.. pun begitu gampang. Bisa berbekal kedekatan
dengan yayasan/kampus, atau pun cukup merogoh kantong lebih dalam,
siap-siaplah jadi sarjana.
Saya kadang heran kenapa, kata2 sarjana begitu digandrungi.
Bahkan dengan cara apapun, ada saja yang rela menempuh segala macam
cara. Huuh. Sekian dulu curhatnya.....
We need a Human not Machine.