28/01/2016
"MERAH" DI KAMPUS ORANGE (UNM)
(Sebuah catatan atas Suksesi Rektor UNM,
2016)
SYAMSU
ALAM
"MERAH"
identik dengan darah, berani, atau secara kelembagaan identik
dengan kampus Unhas atau partai politik atau bahkan aliran ideologi tertentu
(kiri), tidak.. tentu tidak, karena amat sulit kita menemukan
Akademisi (Intelektual) Kiri di UNM (Universitas Negeri Makassar) . Tapi
dikalangan mahasiswa UNM gagasan kiri (sosialisme) bukan hal yang langka.
Salah satu indikatornya pernah ditemukan logo peralatan kerja petani (baca:
palu arit), indikator lainnya seorang penanya mengutip Lenin pada sesi
tanya jawab pada pemaparan Rencana Program Kerja calon Rektor UNM Periode 2016-2020 (27/01/16) di
ruang teater Pinisi UNM. Meskipun demikian UNM tetaplah kampus Orange.
Dalam
persfektif atmosfer akademik tentu berbagai pemikiran "sah dan halal"
dipelajari. Ini, boleh jadi pertanda baik bahwa civitas akademika
(dosen, mahasiswa, pegawai) kampus setengah Oemar Bakri tidak
perlu fobia terhadap aliran pemikiran apapun. Karena salah satu ciri kampus
yang besar dan unggul adalah tempat bersemai dan berdialektikanya berbagai
pemikiran. Bukankah pelangi itu indah karena warna-warninya.
BRANDING VISI MISI
Enam
kandidat calon rektor UNM telah memaparkan rencana-rencananya jika ditakdirkan
oleh Tuhan melalui 97 suara senat UNM disaring menjadi 3 (tiga) calon dan
putusan akhir adalah suara pak Menteri. Seharian pada pemaparan dan tanya
jawab calon Rektor UNM tidak banyak hal baru yang dipaparkan, bahkan
pemaparan program keenam kandidat tidak jauh berbeda dengan Program Rektor
sebelumnya. Setidaknya keenam calon Rektor ada kesepahaman atau kemiripan
gagasan visi misi dalam tiga kosakata. Ketiganya adalah
Kolaborasi, MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dan World Class
University.
Pada
ketiga kosakata itulah, penulis hendak menyematkan kata
"Merah". Dalam psikologi warna dan kaitanya dengan
branding, Warna "Merah" identik dengan hasrat,
semangat, ambisi, nafsu, passion.
Para
kandidat sepaham untuk meningkatkan daya saing dalam pusaran MEA dan persaingan
menjadi universitas unggulan dengan berbagai predikat yang akan membanggakan
para civitas akademika UNM dengan tidak sekedar mengandalkan pada seorang
Rektor tetapi dengan berkolaborasi. Meskipun belum ada penjelasan lebih jauh
berkolaborasi dengan siapa. Kata Kolaborasi kian populer menjelang Revolusi
Industri keempat versi World Economic Forum (WEF), Sebuah revolusi batu
yang berbasis digital. Pemicu utamanya bergesernya mode of production dari input modal fisik ke input modal non-fisik (ide dan kreativitas) pemanfaatn input
tersbut menjadikan berbagai perusahaan dan organisasi meraih sukses di pentas
regional maupun global. Keberhasilan organisasi menjadi pemenang dengan strategi
"Kolaborasi". Beberapa organisasi diantaranya adalah Wikipedia,
Facebook, Skype, Goldcorp, Linux, P&G dll.
Don
Tapscott penulis The Digital Economy dan Wikinomics,
mengungkapkan bahwa awalnya "Kolaborasi Maya" yang dilakukan
oleh para netizen, programmer, youtuber dan lain-lain adalah
semacam gerakan massif sebagai anti-tesa atas dominasi perusahaan-perusahaan
raksasa yang menguasai media mainstream. Bahkan kerap dikatakan sebagai
"komunisme gaya baru". Tetapi para aktivis "Kolaborasi
Maya" tetap memacu krativitas dan berinovasi tiada henti tanpa terpengaruh
dengan stigma komunisme gaya baru. Misalnya Linux, yang awalnya hanyalah
proyek "gotong-royong" dimana para programer berjejaring,
berbagi source code, sharing pengalaman hingga akhirnya bisa bersaing
dengan Microsoft atau Mac. Padahal tidak ada perusahaan yang menaunginya,
toh, bisa menjadi pemain dalam dunia Sistem Operasi. Hal yang sama
terjadi pada perusahaan dan organisasi yang melakukan "Kolaborasi".
KONSEKUENSI
KOLABORASI
Berdasarkan
sudut pandang perencanaan, kalaborasi identik dengan proses, dimana
inputnya adalah Mahasiswa, Dosen, Pegawai, Satpam,
Stakeholder dan shareholder yang terkait dengan pengguna jasa dan produk
(output) perguruan tinggi. Produk perguruan tinggi bisa berarti lulusan
sarjana dan pascasarjana atau hasil penelitian yang bisa dimanfaatkan oleh
masyarakat, perusahaan, atau pemerintah dalam menyusun kebijakan.
Dimensi dampaknya (impact) adalah apakah produk tersebut dimanfaatkan sesuai
kompetensinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian bangsa.
Jika Kolaborasi dimaknai seperti ini maka Tri Dharma Perguruan tinggi akan
berjalan sesuai dengan koridornya dan cita mewujudkan kampus menjadi
"Center of Excellence". Tentu dengan berbagai konsekuensi-konsukuensi
dan perbaikan sistem kelembagaan.
Cerita
sukses tentang organisasi yang menerapkan Kolaborasi "Massif" berani
mentransformasikan sistem manajemennya. Organisasi yang awalnya
menerapkan manajemen vertikal, hirarkis yang kaku, berdasarkan
komando, perintah atasan, dan standar operasional yang sangat kaku
dan mekanistik, dapat menyebabkan bawahan terkena penyakit sindrom ABS
(Asal Bos Senang). Dengan Kolaborasi gaya tersebut ditransformasi menjadi
Organisasi dengan sistem manajemen horisontal, terbuka, komunikasi lebih
cair, fleksibel, penuh ruang improvisasi bagi siapapun yang
terlibat dalam kolaborasi. Dengan sistem seperti ini maka jarak antara pejabat
Universitas, Fakultas, Jurusan dan Prodi dengan yang bukan pejabat
seperti dosen, pegawai dan mahasiswa bisa dianggap tidak berjarak.
Konsekuensi
lebih jauh adalah akan menghancurkan tatanan struktural feodalisme, entah
feodalisme keturunan "karaeng", "puan" atau
feodalisme keilmuan "professor" dan bukan professor. Tentu saja
hal ini adalah alamat baik buat atmosfer akademik, dimana setiap civitas
akademika adalah subjek dan ilmu pengetahuan adalah objeknya.
Konsekuensi
selanjutnya, setelah struktur feodal sudah runtuh, maka akan
tercipta kesetaraan, ruang-ruang dialogis antar civitas akademika dan stakeholder
makin luas. Dan pada akhirnya demokratisasi kampus dapat terwujud. Apakah
semudah itu? Tentu tidak. Tapi yang pasti jika Kolaborasi telah
menjadi kosakata pamungkas para kandidat Rektor UNM maka semestinya
prinsip-prinsip kolaborasi harus menjadi tonggak-tonggak pengelolaan perguruan
tinggi.
KOLABORASI:
LIPSING ATAU INISIASI
Harapan
terbesar kita sebagai masyarakat biasa,
atas setiap suksesi para calon pemimpin adalah satunya kata dan perbuatan atau dalam terminologi kampus adalah
“kejujuran ilmiah” para kandidat. Semua
yang dipaparkan seolah-olah adalah energi positif dengan beragam angan-angan
indah. Kata memang adalah senjata, dia bisa memotivasi atau mematikan.
Kolaborasi
layaknya diperlakukan tidak seperti liberalisasi pasar regional ASEAN dalam
MEA, karena dalam liberalisasi menyimpan
potensi laten ketimpangan dan menindas Negara yang tidak punya akses dan
aset. Kolaborasi tentu memuat prinsip pro-konsumer, tersedianya perpustakaan
besar untuk berbagi sumber-sumber pengetahuan, terciptanya transparansi
sebagaimana "kolaborasi maya" berbagi source code, menyuburkan pikiran kolaboratif bukan pikiran
kolutif dan koruptif. Semoga UNM tetap
Jaya dalam Tantangan.