27/11/2013
RUMAH PENGETAHUAN WARGA DAN REDUKSI KEMISKINAN
Syamsu Alam*)
Saat ekonomi Global mengalami
kontraksi. Ekonomi Indonesia justru tumbuh mengesankan, pertumbuhan ekonomi
Indonesia justru meningkat mencapai 6,5 persen. Tahun 2014, Indonesia
diprediksi masuk jajaran 15 negara dengan PDB di atas satu trilyun dollar.
Bahkan, lembaga pemeringkat ekonomi Fitch percaya bahwa akhir tahun 2013,
Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara penghutang, bisa menjadi
negara pemberi hutang. Hal serupa juga terjadi di Sulawesi Selatan, laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Sulawesi Selatan mengalami peningkatan cukup signifikan melebihi 8 persen, atau
di atas angka pertumbuhan ekonomi rata-rata secara nasional. Namun pertumbuhan
ini dinilai belum berkualitas, khususnya dalam mereduksi kemiskinan.
Berbagai fakta empirik yang mengiris
hati masih menghiasi etalase media.
Misalnya di Pontianak seorang Ibu membakar diri bersama anaknya karena tidak
mampu lagi membeli beras untuk sekadar makan. Kasus kelaparan yang
menewaskan seorang ibu dan anaknya di Makassar. Praktik bullying di sekolah-sekolah juga kerap
menimpah siswa-siswi miskin hingga ada yang gantung diri karena sering diejek
oleh temannya menunggak uang sekolah, serta jutaan anak kehilangan kesempatan
belajar karena harus menanggung beban ekonomi keluarga. Potret sosial tersebut
jika dibiarkan berlangsung lama, bukan tidak mungkin berpotensi menyebabkan
kekacauan sosial.
Permasalahan kemiskinan bersifat multi
dimensional dan bukan hanya sekedar
masalah ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk memperoleh pendapatan
maupun kemampuan membeli barang dan jasa.
Paul Shaffer (2008), perkembangan pemikiran dan perhatian terhadap aspek
kemiskinan menunjukkan perubahan mendasar dimana konsep kemiskinan semakin
luas (bukan hanya physiological
deprivations, tetapi juga mencakup social deprivations), penyebab
kemiskinan semakin luas (termasuk sosial, politik, budaya, kekerasan dan sumber
daya alam), dan fokus kemiskinan semakin dalam (mencakup hingga strategi
perlindungan sosial, mitigasi dan pengurangan resiko). Hal tersebut selaras dengan pemikiran peraih
Nobel Amartya Sen yang mengungkapkan bahwa seseorang yang miskin menderita
akibat keterbatasan kemampuan (capabilities), kesempatan (opportunities)
dan kebebasan (freedoms). Bahkan secara sederhana kemiskinan juga disebabkan
karena adanya kesenjangan pengetahuan.
Pemerintah berupaya mereduksi kesmiskinan dengan triple track strategy yang disempurnakan menjadi four track strategy pada kabinet Indonesia Bersatu II, Pro-poor, Pro-job, Pro-Growth, dan Pro-environment. Sebuah niat baik untuk mengatasi suatu meta-masalah kemiskinan. Untuk itu maka anggaran yang dialokasi untuk program pengentasan kemiskinan tersebut terus meningkat dari Rp. 35,1 trilyun (2005) menjadi Rp. 66,2 trilyun (2009) dan 94 trilyun (2012), serta telah dialokasikan sebesar Rp 106,8 trilyun pada APBN TA 2013. Namun niat saja tidak cukup, karena sebuah strategi yang jitu semestinya teruji efektif dan efisien secara empirik.
Pemerintah berupaya mereduksi kesmiskinan dengan triple track strategy yang disempurnakan menjadi four track strategy pada kabinet Indonesia Bersatu II, Pro-poor, Pro-job, Pro-Growth, dan Pro-environment. Sebuah niat baik untuk mengatasi suatu meta-masalah kemiskinan. Untuk itu maka anggaran yang dialokasi untuk program pengentasan kemiskinan tersebut terus meningkat dari Rp. 35,1 trilyun (2005) menjadi Rp. 66,2 trilyun (2009) dan 94 trilyun (2012), serta telah dialokasikan sebesar Rp 106,8 trilyun pada APBN TA 2013. Namun niat saja tidak cukup, karena sebuah strategi yang jitu semestinya teruji efektif dan efisien secara empirik.
Pemerintah daerah di seluruh Indonesia
mencoba menerjemahkan ke dalam setiap visi daerah. Sulawesi Selatan
menerjemahkan dengan "pemenuhan hak dasar" yang ingin tampil menjadi
sepuluh besar dalam pemenuhan hak dasar dengan program andalan Pendidikan dan
Kesehatan Gratis di Sulawesi Selatan (RPJMD 2008-2013).
Niat dan upaya baik pemerintah perlu
direspon positif dan proporsional. Terlepas dari capaian kualitas pendidikan
Sul-Sel, setidaknya program tersebut telah berhasil menyelamatkan beberapa
keluarga miskin tidak putus sekolah. Para kepala daerah berlomba berinovasi
program untuk mendekatkan pelayanan ke masyarakat. Ide dan inovasi kepala
daerah seharusnya mampu diterjemahkan oleh setiap aparatur pemerintahan, bahkan
setiap elemen dalam masyarakat. Disinilah pentingnya sinkronisasi antara
pemerintah, masyarakat dan swasta untuk berinovasi mengatasi masalah kemiskinan.
Inovasi saja tdk cukup. Berbagai
jurnal, buku dan laporan hasil penelitian tentang Inovasi strategi mereduksi
kemiskinan telah dipublikasikan secara luas. Baik melalui media cetak, media
online dan elektronik, namun belum banyak komunitas warga yang bisa mengimitasi
secara baik praktik cerdas yang dilakukan oleh berbagai kolektif warga
dibelahan dunia lain. Misalnya BUMDes yang seyogyanya mampu menjadi lokomotif
ekonomi warga desa, justru ada gejala tersandera oleh proses demokrasi lokal
yang salah kaprah.
Oleh karena itu semestinya Perguruan
Tinggi memberi kontribusi riil yang bukan hanya menggelar seminar untuk
kepala-kepala daerah dan LSM sebagai salah satu pilar demokrasi dapat berperan
secara proaktif untuk mendampingi warga bukan hanya sekedar menjadikan semacam
"proyeknisasi kesmiskinan" sebagaimana gejala-gejala yang banyak menjangkitii
kondisi intenal LSM-LSM lokal (Desa/Kecamatan/Kabupaten). Jika gejala ini kian
merebak dan menghinggapi sebagian besar para agen yang merasa "pejuang
demokrasi" maka bukan hanya warga yang perlu audit sosial tetapi LSM juga
perlu masuk bengkel untuk mereorientasi visi ber-LSM.
Hal di atas menjadi penting karena ada
falsafah yang mengatakan bahwa "jika Anda tidak memiliki, maka pasti Anda
tidak mungkin bisa memberi". Bagaimana mungkin kita (baca:NGO) berupaya
memperjuangkan tegaknya demokrasi (kesetaraan dalam mengakses fasilitas publik,
transparansi dan keadilan) kalau kita sendiri mencederai asas-asas demokrasi.
Disinilah pentingnya ruang berbagi pengetahuan antar warga, ruang belajar
menjadi subjek dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Praktik langsung (Learning by doing) adalah intisari Rumah Pengetahuan Warga. Inovasi
praktik cerdas warga daerah yang disosialisasikan dan direproduksi oleh
berbagai aktor pro-demokrasi (Misalnya Perguruan tinggi, NGO, dll) sebisa
mungkin fesiable/dapat diterapkan
secara langsung. Disinilah peran penting pendampingan warga. Bagaimana setiap
aktor dapat mengaktifkan kembali pusat-pusat pengetahuan di Desa-desa. Kenapa
di desa? Karena jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan banyak tersebar di
desa-desa. Membangun relasi sosial yang lebih baik yang telah direduksi oleh
lembaga-lembaga struktural/non-struktural yang dibentuk oleh pemerintah yang kerap
bersifat "anti-kritik", empati sosial yang tergerus oleh 'kebablasan' menghadapi kemajuan teknologi dan
informasi. Mengembalikan peran sekolah sebagai tempat belajar warga. Penting
pula untuk mentransformasi masjid-masjid yang sekuler menjadi pusat-pusat
keilmuan, sebagai tempat belajar menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan,
masalah-masalah yang dihadapi petani, masalah pendidikan anak, bahkan boleh
jadi sharing seputar teknologi
bertani, pembiayaan bercocok tanam dan lain-lain. Dengan intervensi dari berbagai
pihak membangun ruang-ruang berbagi informasi dan pusat pengetahuan warga desa
akan terbangun solidaritas dan empati sosial yang kini menjadi barang langka. Dengan
mendekatkan pusat-pusat pengetahuan dengan warga bukan tidak mungkin masalah
yang seusia umur umat manusia dapat direduksi.
*) |@alamyin