16/02/2012
PEMILUKADA DAN UNDERGROUND ECONOMY
February 16, 2012
No comments
Pemilukada: Nikmat atau Bencana !.Disebutkan bahwa Pilkada merupakan pemberian Allah yang masuk kategori nikmat karena memilih gubernur secara langsung merupakan keinginan masyarakat. Menentukan dan memilih gubernur secara langsung adalah hal yang diidam-idamkan oleh masyarakat dalam suatu Negara. Tulisan yang menarik yang disertai dengan beragam nasehat. (opini.fajar.co.id)
Selain sebagai “nikmat” Pemilukada juga berpotensi jadi bencana, jika Pemilukada salah urus dan salah pilih. Untuk kedua kalinya warga di Sulawesi Selatan akan memiih Gubernur secara langsung. Pemilukada sebagai sarana untuk menyalurkan hak pilih, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan demokrasi lokal.
Dikatakan berpotensi jadi bencana karena selain sebagai “pesta demokrasi” tersimpan bahaya yang tak terlihat, yang akan mengatur jalannya pemerintahan pasca pemilihan. Bahaya tersebut dikenal dengan “Pemerintahan Bayangan” dan “Underground Economy”. Dimana, Pemilukada hanya sekedar alat legitimasi kekuasaan para elit.
Schulte Nordholt (2003) salah satu pengamat yang memaparkan secara eksplisit tentang shadow state (Negara bayangan) yang kemungkinan tumbuh dan berkembang seiring dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini bisa terjadi karena adanya penyalahgunaan fungsi institusi pemerintahan formal.
Pada awal tahun 90-an Sritua Arief telah mewacanakan Black Economy di Indonesia. Black economy adalah bagian dari ekonomi bawah tanah (underground economy) yang mengandung kegiatan-kegiatan ekonomi informal. Namun secara sederhana Underground economy dapat diartikan sebagai bukan sekedar aktifitas ekonomi legal yang tidak tercatat dalam PDB (Produk Domestik Bruto) tetapi segala pendapatan yang tidak tercatat yang berasal dari produksi barang dan jasa.
William Reno memberikan pandangan atas modus praktik underground economy yaitu, para penyelenggara Negara mengundang para investor (nasional dan asing) untuk bergabung dalam jaringan “Negara bayangan” sebagai media melakukan deal yang mereka bangun, dan sebagai imbalannya para pengusaha tersebut diberi perlindungan dengan menggunakan otoritas formal yang dimiliki oleh para pejabat.
Dari sini dapat terlihat bahwa antara penguasa dan pengusaha telah melakukan transaksi ekonomi dan politik secara diam-diam dan tanpa harus melalui institusi formal. Apalagi dengan Otonomi Daerah pemerintah daerah mempunyai keleluasaan untuk mengundang investor agar dapat berinvestasi.
Sedikit Berbeda dengan Reno, Barbara Harris White lebih senang menggunakan istilah Informal economy. Menurutnya, setidaknya ada dua hal yang melekat pada istilah informal economy, Pertama, kegiatan usaha perorangan atau kelompok yang tidak didaftarkan pada pemerintah, sehingga tidak dikenakan pajak, contohnya PKL (pedagang kaki lima lapakan), petani, usaha lain yang umumnya aktifitas ekonomi dalam skala kecil yang tidak dilaporkan. Kedua, berkaitan dengan perilaku dari institusi formal baik publik maupun swasta untuk menghindari jangkauan regulasi. Bentuk dari kegiatan yang kedua ini, antara lain; kelonggaran pajak, korupsi, penyalahgunaan kebijakan publik, kolusi, hingga pemaksaan swastanisasi asset Negara/Daerah.
Kurang matangnya praktik demokrasi (demokrasi substansial) baik ditingkatan elit pemerintahan maupun ditataran warga akan memicu terjadinya bias demokrasi, dalam artian demokarsi bukan sebenar-benarnya pilihan, tapi lebih disebabkan oleh adanya dorongan prosedural untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Misalnya dikalangan warga yang tingkat kesadaran politiknya kurang memadai ditambah dengan kefakiran ekonomi, tentu warga yang demikian cenderung memilih calon yang bisa memenuhi kebutuhan sesaatnya, seperti sembako atau uang.
Keadaaan warga yang dominan seperti di atas, akan sangat mungkin dimanfaatkan oleh elit masyarakat untuk melakukan persekongkolan dengan calon pemimpin daerah, entah dengan melakukan “deal” yang akan dipenuhi setelah menjabat sebagai pejabat pemerintahan formal atau bentuk lainnya.
Dengan asumsi bahwa pada saat ini kita masih dalam tahap transisi demokrasi. menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis akan mencapai kebenarannya jika berangkat dari asumsi bahwa tujuan ideal dari pemilihan secara langsung antara lain, untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan responsif, hanya akan mendekati kenyataan ketika diasumsikan bahwa perilaku demokrasi telah eksis baik pada tataran elit penyelenggara pemerintahan, maupun dikalangan masyarakat. Dengan demikian maka masyarakat akan mengambil keputusan atas pilihan tersebut berdasarkan “rasionalitas politik”.
Diantara karakteristik dasar dari transisi demokrasi adalah relatif masih minimnya perilaku demokratis baik ditataran elit penguasa maupun elit masyarakat. Dengan demikian maka sulit dihindari tidak akan terjadi bias demokrasi dalam Pemilukada, bahkan sangat mungkin akan lebih banyak diwarnai “persekongkolan-persekongkolan” bisnis dan deal politik antar elit. Dinamika bisnis dan deal politik yang terjadi sebelum dan proses Pemilukada, tentunya berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca Pemilukada. Disinilah akan muncul bahaya akibat adanya “transaksi yang tak tampak” yaitu tumbuh dan berkembanganya praktik underground economy dalam pemerintahan formal.
Praktik pemerintahan bayangan dan underground economy juga paling mungkin terjadi antara investor dengan penguasa. Dimana, dalam Underground Economy, menyebabkan pemerintahan bayangan hadir, tumbuh, dan berkembang sebagai akibat dari terjadinya disfungsi dari institusi formal (negara/daerah). Keadaan akan lebih buruk jika disertai kesulitan ekonomi yang parah dialami oleh dominan warga di daerah ini. Akumulasi keuntungan ekonomi dan politik jangka pendek diluar bingkai aturan formal, merupakan tujuan utama dari “transaksi yang tak tampak” melalui underground economy. Pada konteks inilah masing-masing pihak akan memaksimalkan sumber daya dan potensi yang dimiliki, untuk ditawarkan dalam transaksi bawah tanah. Nordholt, menunjukkan bahwa, para pelaku yang terlibat dalam “transaksi yang tak tampak” ini adalah para penyelenggara negara, daerah dan aktor-aktor dalam masyarakat misalnya, para pengusaha, politisi parpol dan bahkan preman hingga kelompok kriminal (mafia).
Modus operasinya cukup beragam. Diantaranya, menurut Barbara Harris adalah ; manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan pengusaha, transaksi “bawah tanah” antara penguasa dan pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah. Dari sisi pengusaha, praktik Underground economy ini dapat ditafsirkan sebagai bagian dari kompensasi atas perannya sebagai donator bagi pejabat pemerintah dalam mendapatkan kursi kekuasaan. Sementara dari sisi pejabat pemerintah, praktik Underground economy tersebut berfungsi ganda, yaitu merupakan bagian dari bentuk “balas budi” sekaligus merupakan arena untuk mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek.
Penyebab utama terjadinya hal ini antara lain, karena para elit penyelenggara pemerintahan formal mengalami ketakberdayaan dalam berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintahan Sedangkan dari dalam diri para konstentan, ada hasrat yang besar menduduki kursi kekuasaan. Konsekuensi logis dari kondisi seperti ini, adalah penyelenggaraan pemerintahan akan lebih banyak dikendalikan oleh otoritas informal di luar struktur pemerintahan, daripada otoritas formal di dalam struktur itu sendiri.
Jika demikian adanya, maka berkah dan kenikmatan Pemilukada hanya akan menjadi nikmat bagi sedikit orang, dan bencana bagi yang lainnya.