08/02/2020
Pemerintah Daerah dan Ilusi Pembangunan Berkelanjutan
Syamsu Alam *)
Reformasi di korupsi.
Demikian 'tagline' yang disuarakan
para pegiat demokrasi sejati. Era reformasi memberikan perubahan paradigma
secara lebih adil dan berimbang. Perubahan
paradigma dapat dilaksanakan melalui kebijakan otonomi daerah dan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mungkinkah perubahan paradigma itu
diikuti oleh para aktor pembangunan?
Mulai dari UU no. 22
tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang telah diubah
menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Terakhir UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan untuk menggantikan
UU sebelumnya.
Diberlakukanya
undang-undang di atas dapat memberikan peluang bagi daerah untuk menggali
potensi lokal demi terwujudnya kemandirian keuangan daerah, sekaligus
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang berkelanjutan, benarkah demikian?
Media online dan media
sosial bisa menjadi input bagi para anggota Dewan (Prov/Kab/Kota) di Sulsel.
Ada banyak laporan warga yang mudah kita monitoring dan tindak lanjuti.
Khususnya proyek fasilitas publik. Misalnya, beredarnya foto proyek pemecah
ombak di Kab. Takalar, Aspal yang tipis di Kab. Bone, Warga miskin yang
meninggal karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Dan banyak lagi berita-berita
layanan publik yang berseliweran di jagad maya.
Fakta di atas
mengantarkan saya pada sebuah pernyataan hipotetik bahwa Pembangunan
Berkelanjutan hanya ilusi. Ilusi adalah sesuatu yang hanya ada dalam
angan-angan, tetapi tidak dapat diinderai atau tidak empiris (adaptasi KBBI).
Kenapa ilusi? Tujuan dan target-target indah dalam MDGs (Milenium Development
Goal, 2000-2015) lalu dilanjutkan dengan SDGs (Sustainable Development Goals,
2015-2030). SDGs memiliki 17 tujuan dan 196 target atau sasaran yang harus
dicapai pada tahun 2030.
Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan 2030 (TPB-2030) adalah pembangunan yang berorientasi pada
penguatan ekomomi, sosial,dan lingkungan yang saling mendukung dan melengkapi.
Secara spesifik dapat dilihat pada laman sdg2030indonesia.org. Ke-17 tujuan
sangat ideal. Tujuan 1, Mengakhiri
kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun, sampai tujuan 17:. Menguatkan ukuran
implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.
TPB-2030 ini telah
diperkuat dalam berbagai paket Undang-undang, Permen, sampai surat edaran. Pada
level Pemerintah Daerah dalam penyusunan Perencanaan Pembangunan, monitoring
sampai penetapan target dan sasaran pembangunan harus merujuk pada Permendagri
86 Tahun 2017. Jika ada dokumen perencanaan yang belum mengintegrasikan
regulasi tersebut maka harus direvisi.
Dalam filosofi
memandikan mayat seseorang tidak mungkin bisa menyucikan kalau dia sendiri
tidak suci. Makanya yang akan memandikan mayat harus suci (berwudhu) terlebih dahulu.
Dalam fiqh sosial, seseorang tidak mungkin bisa memberi jika, ia tidak
memiliki. Ini adalah falsafah dasar berinteraksi atau lebih khusus pelayanan
sosial pada orang lain (masyarakat secara umum).
Nah, berangkat dari
filosofi dasar di atas dapat dijadikan pisau analisa melihat praktik
pembangunan pada level pemerintah (khususnya daerah). Bagaimana mungkin
pemerintah bisa mengakhiri kemiskinan (TPB-2030 Tujuan1), jika mereka sendiri
masih merasa miskin. Bagaimana mungkin mereka bisa memberi kalau mereka sendiri
merasa tidak cukup. Tujuan 2-17 dapat diuji proses pencapaiannya pada ranah
empiris.
Beberapa hasil
penelitian mahasiswa bimbingan kami di kampus (FE UNM, 2019) menunjukkan betapa
tidak mandirinya pemerintah Daerah di Sulsel. Sampel penelitian daerah
AJATAPPARENG, MAMINASATA, dan Beberapa Kabupaten di Sulsel menunjukkan
tingginya ketergantungan keuangan pemerintah daerah pada pemerintah pusat.
Pengukurannya dengan melihat rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bantuan
pemerintah dan pinjaman.
Sedangkan Rasio
efektivitas keuangan daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan
dengan target yang ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2007).
Sayangnya kemandirian
keuangan daerah masih rata-rata berpola hubungan instruktif, yaitu
peran Pemerintah Pusat
sangat dominan dari pada kemandirian Pemerintah Daerah. Demikian pula, pada
dominan efektivitas Keuangan Pemerintah Daerah, masih kurang efektif.
Hal ini diperparah
dengan model pengukuran kinerja pemerintah yang hanya melihat tingkat serapan
anggaran. Aneh, regulasi memerintahkan pembangunan berbasis kinerja, artinya
mengukur dimensi outcome (hasil) dan impact (dampak). Namun prioritas
penilaiannya masih berbasis anggaran (input).
Lalu, sampai kapan
kita terilusii dengan doktrin-doktrin model kebijakan pembangunan yang
kedengarannya indah, memesona dibicarakan, namun sulit bahkan amat berat
direalisasikan. Kenapa? Karena pembangunan tidak berbasis pada kewilayahan,
tidak bersesuaian dengan norma adat (Suitability) yang ada di daerah kita
(Sulsel). Menurut hemat kami Pembangunan selain harus Sustainability (keberlanjutan) juga harus Suitability (Kesesuaian) (Alam & Rumi, 2020). Pembangunan yang
bertumpu pada filosofi Sulapa APPA.
Sulapa APPA, Model
kosmos dihubungkan dengan adanya harmoni empat unsur alam, yaitu: udara, air,
api, dan tanah, yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Keempat unsur
ini adalah empat jenis sifat yang dimiliki oleh "manusia yang berbicara", keberanian, kebangsawanan, kekayaan,
keelokan.
Dengan memerhatikan
kondisi kewilayahan beserta nilai-nilai budaya luhur yang ada di dalamnya, ia dapat
menghindarkan kita dari ilusi pembangunan. Hal ini membutuhkan political will yang solid.
Masa pemerintah daerah
hanya 5 tahun, jika hanya sibuk membangun citra dan monumen diri, pertanda
bapak-bapak belum selesai dengan dirinya. Mungkin para pejabat kita perlu
membuka kembali pesan "Renaisance
Man' Karaeng Pattingalloang, yang menyatukan sains dan nilai-nilai
kebijaksanaan dalam memgelola daerah (negara). Istilah sekarang, Pembangunan
yang berdasar pada Based Policy Evidence
plus nilai-nilai kearifan lokal.
Akhirnya, bisakah kita
membangun dan menata daerah yang berani melawan imperialis, berperangai
kebangsawanan yang beradab, dan kalau kaya tidak akan merampok anggaran daerah
secara terstruktur sistematis dan massif.
Wallahu A'lam
Bisshawwab.
*) Dosen Ekonomi Pembangunan FE UNM
Terbit di media cetak Tribun Timur, 07 Februari 2020.
0 comments:
Post a Comment