02/02/2013
Politik Anggaran Daerah dan Underground Economy: Potret Inefisiensi APBD
February 02, 2013
No comments
Enam puluh tujuh
tahun Indonesia telah merdeka, namun kemajuannya tidak seperti negara-negara
berkembang yang baru merdeka seperti Malaysia. Pengangguran, kemiskinan masih
dominan mewarnai etalase pemberitaan media massa. Bahkan kerap dijadikan
“jualan” dalam perhelatan rutin lima tahunan. Rakyat kadang dihibur dan
diyakinkan lewat pidato bahwa, bahwa negara kita gemah ripah loh jinawi, namun tidak serta merta membuat kebutuhan
perut 240 juta penduduk Indonesia dalam posisi aman. Impor kebutuhan pokok
disana-sini masih mewarnai setiap rezim yang berkuasa. Negeri yang dahulu mengekspor tenaga ahli ke Malaysia, kini
menjadi negara yang serba disubtitusi, impor pula. Kenyataan ini membuat kita
bertanya, sepertinya Ada yang salah negeri ini?
sumber: http://pilgubbanten.wordpress.com |
Salah satu
tujuan pembangunan ekonomi Indonesia adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tujuan lainnya yaitu
pemerataan (distribution of income) dan stabilitas harga
(inflasi). Indikator pertumbuhan ekonomi penting diketahui dalam melakukan analisis tentang pembangunan
ekonomi suatu daerah, karena dapat
memberikan gambaran secara makro atas kebijakan pemerintah yang
telah dilaksanakan khususnya dalam
bidang ekonomi. Walaupun dalam studi-studi mutakhir pertumbuhan ekonomi bukan
satu-satunya indikator kemajuan suatu bangsa, namun strategi negara berkembang bahkan
negara maju sekalipun masih tetap menjadikan indikator tersebut sebagai target
dan ukuran yang dominan.
Ditengah berbagai
negara memacu perekonomian terpaan krisis global menerpa perekonomian dunia.
Dalam rangka mengurangi dampak krisis ekonomi global, Pemerintah Indonesia
bersedia mengucurkan dana sebesar 73.3 trilliun untuk menstimulus perekonomian.
Ada pertimbangan yang mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah-langkah
untuk mengantisipasi dampak krisis global karena ekonomi telah menunjukkan
gejala melambat. Evaluasi triwulan terakhir tahun 2008 menunjukkan
pertumbuhan ekonomi hanya 5,2 persen, menurun dari 6,1 persen dari kuartal
sebelumnya. Gelombang PHK mulai mengancam, terutama di perusahaan yang
pasar utamanya bergantung ekspor. Angka
pengangguran tercatat 8,39 persen, sedangkan 2009 diperkirakan tiga juta buruh kehilangan pekerjaan.
Jika pemerintah tidak dapat bertindak cepat dengan langkah-langkah efektif,
perekonomian jatuh ke dalam resesi. Pemerintah pusat cukup optimis dengan dana
stimulus dapat mengatasi krisis. Namun terdapat sejumlah kekhawatiran tentang
efektifitas dan “kemujaraban” dana stimulus, mengingat sejumlah masalah serius
yang inheren terkait dengan proses penganggaran daerah, desentralisasi fiskal,
dan konteks dan praktik politik secara umum di daerah. Masalahnya, desain
kebijakan stimulus ekonomi yang dibuat pemerintah saat ini di samping punya
kelemahan mendasar juga datang dalam situasi yang sulit. Kelemahan pertama
ialah 80 persen dari dana stimulus itu berupa pemotongan pajak, bukan dana
segar yang segera dibelanjakan pemerintah. Bagi masyarakat Indonesia, masih
harus dilihat benar apakah pemotongan pajak itu efektif untuk menggerakkan
permintaan barang dan jasa. Kecuali, stimulus diluncurkan pada saat situasi
politik hangat menjelang pemilu, sedangkan sistem manajemen pemerintahan sulit
diperbaiki secara cepat.
Tulisan ini
ditujukan untuk menjelaskan potret politik penganggaran daerah yang menentukan
efektivitas dari kebijakan stimulus, praktik penganggaran yang menyimpang
menyeret para politisi pada jebakan underground
economy dan pemerintah bayangan. Tulisan ini juga akan
menjelaskan variabel politik yang secara signifikan mempengaruhi proses penganggaran daerah di Indonesia. Untuk membantu pemahaman yang
lebih baik pada politik penganggaran publik ditingkat lokal, kasus dari tiga
kabupaten disajikan dan dianalisis.
Politik
Anggaran Daerah
Demokratisasi dan
desentralisasi yang sedang dalam proses menuju fase dewasa, kerap di puji dan
disanjung sebagai hal yang membanggakan, buktinya setelah kerusuhan 1998,
Indonesia berhasil menggelar pemilu 2004 dan 2009 dengan damai. Salah satu masalah mengganjal adalah bahwa
proses perubahan yang sangat tiba-tiba dari rezim otoriter ke tatanan politik
demokrais itu tidak disertai dengan institusi politik yang memadai. Politik
belum dilihat sebagai kegiatan yang beradab dan luhur untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, tetapi semata-mata hanya merupakan kegiatan oportunis
untuk kepentingan diri-sendiri dan golongan.
Pemilu sebagai
jembatan menuju impian para politis kadangkala menjadi berkah bagi segelintir
orang dan bencana bagi yang lainnya, betapa tidak setiap menjelang pemilu,
tidak dapat dihindari bahwa penggunaan dana stimulus pun akan ditentukan kepentingan
politik. Irene S. Rubin (2000) mengatakan, dalam penentuan besaran maupun
alokasi dana publik senantiasa ada kepentingan politik yang diakomodasi oleh
pejabat. Bahwa alokasi anggaran seringkali mencerminkan kepentingan perumus
kebijakan terkait dengan konstituennya. Praktik tersebut seringkali
diindikasikan sebagai politik anggaran yang menyimpang.
Politik anggaran
adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakupi berbagai
pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik diperoleh,
dikelola dan didistribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang
apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk
meningkatkan pelayanan publik (Noer Fauzi &R Yando Zakaria).
UU No.32/2004
mengenai sistem pemerintahan daerah dan UU No.33/2004 mengenai Perimbangan
Keuangan Pusat-Daerah beserta dua UU tentang otonomi khusus (UU No.18/2001
tentang otonomi di Aceh dan UU No.21/2001 tentang otonomi di Papua) adalah yang
mengatur tentang kebijakan desentralisasi di Indonesia secara umum. Meskipun
pelaksanaan produk perundangan itu banyak dipuji oleh dunia internasional,
kenyataan di di lapangan ternyata tidak terlalu menggembirakan. Sebagai contoh banyak kementerian sektoral masih enggan menyerahkan
kewenangan kepada pemerintah daerah secara utuh. Tidak mudah untuk meyakinkan para penguasa yang sebelumnya
menikmati kekuasaan untuk membagi kepada para tokoh di daerah. Berbeda dengan
rumusan teoretis bahwa desentralisasi akan menciptakan "tata pemerintahan
yang baik" (good local governnance) seperti diuraikan oleh banyak pakar, para pejabat di daerah pun
ternyata tidak banyak memanfaatkan kekuasaan mereka untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik yang memadai.
Belajar dari
pengalaman krisis moneter di akhir tahun 1990-an, pemerintah Indonesia telah
meratifikasi beberapa undang-undang yang dimaksudkan untuk menciptakan sistem
keuangan pemerintah yang hati-hati (prudence) dan kuat. Posisi BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) yang semakin kokoh. Namun berbagai upaya untuk mengatur
kembali sistem kewenangan politik maupun manajemen keuangan negara secara
nasional itu belum sepenuhnya mencapai hasil yang memuaskan. Jalin-menjalin
antara kepentingan politik dengan intervensi terhadap kebijakan anggaran telah menghasilkan
sistem politik korup yang menggerogoti anggaran publik.
Download full-doc : h e r e
Judul Tulisan diInspirasi oleh Tulisan : 1. Wahyudi Kumorotomo : Politics of Local
Budgeting:
The Main Hurdle for Stimulus Efficacy (Makalah ini dipresentasikan dalam Konferensi
Internasional IRSA 2 pada Ekonomi Politik DaerahPembangunan, Bogor, 22-23
Juli 2009) ,
2: Syamsu Alam: Underground Economy dan Distorsi Demokrasi (Jurnal Universal,
PB HMI Vol.1 No.1, Sept-Des 2012), kedua tulisan tersebut menjadi referensi
utama dalam tema di atas.
0 comments:
Post a Comment